
OBSERVASI DAN ALAT-ALAT
PENGAMATAN
Oleh:
ABDURROSYID
09230002
09230002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) HAMZANWADI SELONG
2012
A.
OBSERVASI DALAM
ASTROFISIKA
Metode
observasi dalam astrofisika antara lain:
1. Sistem magnitudo
Magnitudo adalah tingkat kecemerlangan suatu bintang.
Skala magnitudo berbanding terbalik dengan kecemerlangan bintang, artinya makin
terang suatu bintang makin kecil skala magnitudonya. Perbandingan magnitudo
semu bintang dapat menggunakan rumus-rumus berikut:
*
atau
(1)


*
(2)

2. Magnitudo mutlak
Magnitudo mutlak (M)
adalah perbandingan nilai terang bintang yang sesungguhnya. Seperti yang Anda
ketahui, jarak antara bintang yang satu dan bintang yang lain dengan Bumi
tidaklah sama. Akibatnya, bintang terang sekalipun akan nampak redup bila
jaraknya sangat jauh. Oleh karena itu, dibuatlah perhitungan magnitudo mutlak,
yaitu tingkat kecerlangan bintang apabila bintang itu diletakkan hingga berjarak 10 parsec dari
Bumi.
Perhitungan jarak bintang, magnitudo semu dan magnitudo
mutlak (absolut) adalah:


Jadi, magnitudo semu (m)
dan magnitudo absolut (M) sebuah
bintang dengan jarak (d) dalam parsek
dapat dihubungkan oleh persamaan

Jika magnitudo absolut dan magnitudo semunya diketahui,
jaraknya dapat dihitung. Kuantitas m
– M dikenal sebagai modulus jarak.
Adapun hubungan antara magnitudo mutlak dan luminositas (daya) bintang, L dapat diterapkan berdasarkan rumus
Pogson

3. Iradiansi, fluks dan daya bintang
Iradiansi atau energi
radiasi adalah jumlah energi yang dipancarkan bintang per detik yang melewati
satuan luas permukaan

E =
iradiansi (W m-2
s-1)
L = luminositas bintang
d =
jarak Bumi – bintang
Fluks
adalah jumlah energi yang dipancarkan suatu bintang yang diterima oleh suatu
daerah luas. Fluks dari suatu daerah berbentuk lingkaran dinyatakan dalam:

Dengan
R radius daerah yang menerima
pancaran. Satuan dari Fluks adalah Watt per detik.
Adapun luminositas bintang (L atau P[daya]), umur bintang(t)
dan massa bintang(m) memiliki
perbandingan :

4. Magnitudo biru
Magnitudo Biru (mB (B) dan MB)
adalah magnitudo suatu bintang dihitung berdasarkan panjang gelombang biru
(3500 Å). Rumus Pogson untuk magnitudo biru dan visual adalah


CV dan CB
adalah suatu konstanta yang sedemikian rupa sehingga mV = mB.
Bintang Vega dengan kelas spektrum A0 dipilih sebagai standar, yaitu mV Vega = mB Vega.
Kuantitas CB dan CV
ini dirumuskan sebagai B-V (indeks warna), sehingga diperoleh V = B
– (B-V). Disebut indeks warna karena
nilai B-V ini menunjukkan warna
bintang, makin biru bintang (makin panas), makin negatif indeks warnanya begitu
pula sebaliknya makin merah bintang (makin dingin) makin positif indeks
warnanya.
Selain magintudo biru dikenal
pula magnitudo lain. Dalam sistem UBV
dari Johnson dan Morgan dikenal 3 macam magnitudo menurut kepekaan panjang
gelombangnya (panjang gelombang efektif), yaitu magnitudo ungu (U) pada
, magnitudo biru (B)
pada
dan magnitudo visual (V)
pada
. Jadi indeks warna pada U
– B dan B – V dapat dihitung
dengan membandingkan energi radiasi pada masing-masing panjang gelombang.
Perbandingan ini dapat dicari dengan fungsi Planck, dan memberikan hasil:





Dengan nilai x untuk tiap panjang gelombang memenuhi:

Dengan h tetapan Planck, c cepat rambat cahaya dalam vakum, k tetapan Boltzmann,
adalah panjang gelombang (misal untuk
gunakan
) dan T adalah
temperatur efektif bintang.



5. Magnitudo bolometrik
Magnitudo bolometrik adalah magnitudo rata-rata bintang
diukur dari seluruh panjang gelombang. Rumus Pogson untuk magnitudo bolometrik
adalah :


Koreksi antara magnitudo visual
dan magnitudo bolometric dituliskan:
mV – mbol = BC. Nilai BC ini disebut Bolometric Correction , dengan
demikian mbol = mV - BC.
Untuk bintang yang sangat panas, sebagian besar energinya
dipancarkan pada daerah ultraviolet, sedangkan untuk bintang yang sangat
dingin, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah inframerah (hanya
sebagian kecil saja pada daerah visual). Untuk bintang-bintang seperti ini,
harga BC – nya bernilai besar,
sedangkan untuk bintang-bintang yang temperaturnya sedang, yang mana sebagian
besar radiasinya pada daerah visual) harga BC
– nya kecil, seperti pada Matahari (
Å).

Hubungan
antara BC dan B – V untuk deret utama dapat digambarkan dalam grafik berikut:

Gambar 1. Grafik antara koreksi bolometrik dan
indeks warna.
Tabel
indeks warna bintang menurut temperatur efektifnya adalah:
spektrum
|
B – V
|
Teff (K)
|
log Teff
|
BC
|
Deret utama (kelas V)
|
|
|||
O5
|
-0,32
|
(54 000)
|
(4,732)
|
(4,76)
|
B0
|
-0,30
|
29 200
|
4,465
|
2,85
|
B5
|
-0,16
|
15 200
|
4,182
|
1,33
|
A0
|
0,00
|
9 600
|
3,982
|
0,21
|
A5
|
0,14
|
8 310
|
3,920
|
0,02
|
F0
|
0,31
|
7 350
|
3,866
|
0,01
|
F5
|
0,43
|
6 700
|
3,826
|
0,04
|
G0
|
0,59
|
6 050
|
3,782
|
0,06
|
G2 (Matahari)
|
0,63
|
5 770
|
3,761
|
0,07
|
G5
|
0,66
|
5 660
|
3,753
|
0,09
|
K0
|
0,82
|
5 240
|
3,719
|
0,19
|
K5
|
1,15
|
4 400
|
3,643
|
0,62
|
M0
|
1,41
|
3 750
|
3,574
|
1,17
|
M5
|
1,61
|
3 200
|
3,510
|
2,60
|
|
||||
Raksasa (kelas III)
|
|
|
|
|
G5
|
0,92
|
5 010
|
3,700
|
0,27
|
K0
|
1,04
|
4 720
|
3,674
|
0,37
|
K5
|
1,54
|
3 780
|
3,578
|
1,15
|
M0
|
1,55
|
3 660
|
3,564
|
1,24
|
M5
|
1,55
|
2 950
|
3,470
|
3,30
|
|
||||
Maharaksasa (kelas I)
|
|
|
|
|
B0
|
-0,27
|
21 000
|
4,32
|
2,36
|
A0
|
0,01
|
9 400
|
3,97
|
0,45
|
F0
|
0,19
|
7 500
|
3,88
|
-0,07
|
G0
|
0,70
|
5 800
|
3,76
|
0,03
|
G5
|
1,01
|
5 100
|
3,71
|
0,20
|
K0
|
1,12
|
4 900
|
3,69
|
0,29
|
K5
|
1,62
|
3 750
|
3,57
|
1,17
|
M5
|
1,62
|
2 950
|
3,47
|
3,30
|
6. Temperatur efektif
Temperatur efektif merupakan temperatur permukaan suatu
bintang.. Temperatur efektif dapat dicari dengan menggunakan rumus :

Dimana Tef adalah
temperatur efekif bintang (K), δ
adalah diameter sudut bintang
, atau dapat pula dinyatakan dengan radius sudut (α) dengan memakai hubungan
dan
(15)



Dengan R adalah
jari-jari bintang dan d adalah jarak
bintang.
7. Adsorbsi cahaya bintang
a. Adsorbsi
oleh atmosfer bumi
Sebelum cahaya bintang tertangkap oleh pengamat, cahaya
tersebut akan melewati atmosfer Bumi terlebih dahulu. Partikel gas dalam
atmosfer akan menyerap cahaya tadi sehingga cahaya yang sampai pada pengamat di
Bumi akan berkurang dan bintang akan nampak lebih redup, Dengan begitu, dengan
metode terdahulu kita tidak dapat mengukur magnitudo bintang-bintang maupun
benda langit lainnya dengan teliti.
Perbedaan sudut
menyebabkan perbedaan ketebalan atmosfer yang berada pada garis lurus
antara mata dengan bintang, sehingga besarnya penyerapan dapat diukur dengan
perbandingan terang suatu bintang yang sama (bintang standar) yang diukur dari
jarak zenit (sudut) yang berbeda. Dengan begitu, terang sebenarnya
bintang-bintang lain (bintang program) dapat ditentukan.


dimana
adalah magnitudo
bintang standar saat barada pada
,
adalah magnitudo
bintang standar saat barada pada
,
adalah jarak zenith bintang program,
adalah magnitudo
bintang program setelah adsorbsi dan
adalah magnitudo bintang program sebelum adsorbsi.







b. Adsorbsi
oleh Materi Antar Bintang (MAB)
Ruang antar bintang tidaklah kosong, tetapi berisikan
materi antar bintang. Materi antar bintang dapat dikategorikan menjadi dua,
yaitu debu antar bintang dan gas antar bintang. Debu antar bintang dapat
berbentuk kumpulan besar yang disebut nebula
gelap seperti horsehead nebulae.
Nebula gelap mengakibatkan terhalangnya cahaya bintang, terutama pada panjang
gelombang pendek (biru-ungu) yang lebih mudah dihamburkan. Akibatnya cahaya
bintang tampak menjadi lebih merh dari aslinya akibat penyerapan cahaya biru
ini. Kejadian ini disebut efek pemerahan.
Gas antar bintang tersusun atas kebanyakan Hidrogen dan
sedikit Helium. Gas antar bintang dapat terlokalisasi dan menjadi cukup rapat
hingga kerapatan 105 atom per cm3 (normalnya 1 atom per cm3).
Lokalisasi gas antar bintang ini disebut nebula, dan merupakan dapur
pembentukan bintang. Bintang-bintang muda dalam kawasan nebula ini mengalami
efek penyerapan oleh gas dalam nebula. Radiasi bintang dapat mengionisasi atom
hidrogen dalam nebula sehingga nebula manjadi berpendar, contohnya nebula
orion.
Cahaya bintang yang diserap oleh MAB ini mengakibatkan
perhitungan magnitudo harus dikoreksi. Koreksi untuk penyerapan ini diberi
simbol AV, yakni
pengurangan magnitudo tiap parsec. Sebelumnya kita telah mengenal
indeks warna (B – V), yaitu selisih
antara magnitudo biru dan magnitudo visual. Selisih itu sebenarnya diperoleh
dari pengamatan di Bumi (setelah penyerapan) adapun nilai B – V ini sebelum penyerapan (B
– V)0 disebut warna intrinsic. Adapun perbandingan
(selisih) antara (B – V) dan (B – V)0 disebut ekses warna (E(B-V) atau
EBV)
Besarnya koefisien adsorbsi MAB (R) umumnya adalah 3,2. Besarnya intensitas cahaya yang terabsorbsi
juga tergantung dari intensitas asli bintang itu, sehingga :

Selisih antara magnitudo semu
visual (mV atau V) sesudah dan sebelum penyerapan adalah

dengan V0 adalah magnitudo sebelum penyerapan dan V adalah magnitudo sesudah penyerapan.
Adapun magnitudo semu biru sebelum penyerapan (B0) adalah

Sedangkan untuk magnitudo mutlak sebelum pemerahan dapat
dihitung dengan cara biasa, hanya saja V
atau B diganti dengan V0 atau B0.
Dan untuk penghitungan sistem magnitudo ungu dapat dihitung
dengan:

8. Pengukuran jarak
Metode penentuan jarak dalam astronomi umumnya dinyatakan
dalam meter, kilometer, Astronomical Unit
(Satuan Astronomi), light year (tahun
cahaya) dan parsec (parsek). Adapun
dalam astrofisika, jarak sering dinyatakan dalam sistem cgs, yaitu sentimeter.
Satu Satuan Astronomi (AU atau SA) adalah radius orbit
rata-rata Bumi. Satu AU bernilai 1,495 978 92 . 1011 meter, atau
sering dilafalkan 150 juta kilometer. Satu tahun cahaya didefinisikan sebagai
jarak yang ditempuh cahaya dalam ruang hampa selama setahun. Karena kecepatan
cahaya dalam vakum sama dengan 2,997 924 58 . 108 m s-1,
berarti jarak yang ditempuh cahaya selama satu detik adalah 299 792 458 meter. Sehingga didapatkan
panjang satu tahun cahaya sekitar 9,461.1015 meter.
a. Paralaks
bintang
Dalam perhitungan jarak bintang dekat, sering digunakan
metode paralaks, yaitu pengamatan pergeseran posisi bintang terhadap bintang
latar bila dilakukan dengan membandingkan posisi bintang pada bulan Januari dan
Juli (atau bulan-bulan lainnya yang berselang setengah tahun). Dengan
mengetahui nilai R adalah 149 600 000 km, maka jaraknya dapat dihitung.
Adapun definisi satu parsec adalah jarak bintang yang memliki paralaks satu
detik busur. Karena satu detik busur = 1/3600 derajat, maka 1 parsek adalah:




Gambar 2 Paralaks bintang dekat.
Untuk penghitungan
jarak bintang dengan berbagai sudut paralaks dapat dicari dengan


Karena p<<3600 maka berlaku
penyederhanaan 



Jadi,
bintang berjarak 1
parsek atau 206 265 AU atau 3,26 tahun
cahaya

Jarak dan besarnya paralaks busur sebuah bintang dapat
dihubungkan dengan





Untuk pengamat di
planet lain, paralaks dapat dihitung dengan menggunakan hubungan :
(27)

Dimana r adalah jarak planet dari Matahari (AU)
b. Paralaks
geosentrik
Jika dalam paralaks bintang posisi diamati berdasarkan perubahan
kedudukan akibat revolusi Bumi, maka dalam paralaks geosentrik posisi benda
langit diukur berdasarkan perubahan posisi pengamat di permukaan Bumi, yang
dalam hal ini berada pada bujur berselisih 180°. Misalkan untuk Matahari,
paralaks geosentriknya adalah

Karena p<<
maka dapat dilakukan pendekatan
atau dalam detik busur
. Berdasarkan pengamatan paralaks Surya sebesar
dan dengan
mensubstitusikan nilai RB




Didapatkan jarak Matahari 

c. Radius sudut
dan diameter sudut
Untuk objek dekat dan bukan titik, radius objek dapat
dihitung dengan metode trigonometri.

Gambar 3 Radius sudut dan
radius linear.
Jika jarak objek diketahui dan sudut α dapat diukur, maka radius linier objek, R dapat dihitung yakni:

Atau menggunakan diameter sudut, yakni δ yang besarnya tentu saja 2α, maka diameter linier, D dapat diukur.


Gambar 4 Efek gerak Bumi
terhadap arah datang cahaya.
(A E Roy and D
Clarke)
9. Aberasi cahaya bintang
Dalam pengamatan, posisi bintang di langit ternyata
berubah-ubah dan tidak tepat bersesuaian dengan posisinya. Cahaya bintang yang
sampai pada pengamat dapat dianggap terbelokkan, akibat gerak Bumi mengelilingi
Matahari. Secara metematis, hal ini dapat diterangkan dengan vektor, namun
sebenarnya banyak kejadian sehari-hari yang mirip yang dapat membantu
menjelaskan peristiwa ini. Jika kita berada di dalam mobil yang diam saat
hujan, akan nampak butir hujan yang jatuh tegak lurus (jika angin tidak
bertiup) ke atap mobil, namun jika mobil begerak kencang nampaklah jika
butir-butir hujan terlihat menghantam langsung kaca depan mobil dan dari
jendela di samping Anda butir hujan terlihat jelas menempuh arah miring (sudut)
yang berlawanan gerak mobil Anda.
Demikian pula yang terjadi pada
observatorium-observatorium di Bumi. Kecepatan Bumi mengelilingi Matahari
diberikan oleh

Sedangkan kecepatan rotasi Bumi jauh lebih kecil dan lokal
dibanding kecepatan orbitnya. Suatu bintang dengan altitude sebenarnya
akan teramati jika
teleskop diarahkan pada altitude
dengan hubungan




Mengingat
sangat kecil (
) sehingga
dalam detik busur
dapat dituliskan menjadi




Atau

Nilai
disebut konstanta
aberasi, dengan mensubstitusikan nilai
didapatkan nilai
.



10. Aberasi paralaksis
Dalam bagian tentang aberasi cahaya bintang telah
isebutkan bahwa cahaya dapat ‘dibelokkan’ akibat gerak revolusi Bumi. Aberasi
ini berpengaruh dalam pengamatan paralaks. Misalkan pengukuran deklinasi
bintang saat 21 Juni dan 22 Desember didapatkan perbedaan deklinasi sebesar
, dan secara teori pada 21 Maret dan 23 September bintang
tepat berada di deklinasinya. Sebenarnya akibat vektor kecepatan Bumi dalam
arah meridian langit menyebabkan posisi bintang tidak benar sesuai dengan
deklinasinya, melainkan berselisih sebesar
’



Gambar 5 Posisi bintang
teramati dari Bumi akibat pengaruh paralaks dan aberasi.
B.
ALAT-ALAT
PENGAMATAN DALAM ASTROFISIKA
Alat-alat yang digunakan dalam
pengamatan astrofisika antara lain:
1.
Teleskop atau teropong
Teleskop
atau teropong adalah instrumen pengamatan
yang berfungsi mengumpulkan radiasi elektromagnetik dan sekaligus
membentuk citra
dari benda yang
diamati. Teleskop merupakan alat paling penting dalam pengamatan astronomi.
Jenis teleskop (biasanya optik) yang dipakai untuk maksud bukan astronomis
antara lain adalah transit, monokular, binokular, lensa kamera, atau keker.
Teleskop memperbesar ukuran sudut benda, dan juga kecerahannya.
Galileo
diakui menjadi yang pertama dalam menggunakan teleskop untuk maksud astronomis.
Pada awalnya teleskop dibuat hanya dalam rentang panjang
gelombang tampak saja (seperti yang dibuat oleh Galileo, Newton,
Foucault, Hale, Meinel, dan lainnya), kemudian
berkembang ke panjang gelombang radio
setelah tahun 1945,
dan kini teleskop meliput seluruh spektrum elektromagnetik setelah makin
majunya penjelajahan angkasa setelah tahun 1960.
Penemuan
atau prediksi akan adanya pembawa informasi lain (gelombang gravitasi
dan neutrino)
membuka spekulasi untuk membangun sistem deteksi bentuk energi tersebut dengan
peranan yang sama dengan teleskop klasik. Kini sudah umum untuk menyebut teleskop
gelombang gravitasi
atau pun teleskop partikel berenergi tinggi.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi pengamatan pada lima abad lalu membawa manusia
untuk memahami benda-benda langit terbebas dari selubung mitologi.
Galileo Galilei (1564-1642) dengan teleskop refraktornya mampu menjadikan mata
manusia "lebih tajam" dalam mengamati benda langit yang tidak bisa
diamati melalui mata bugil.
Karena
teleskop Galileo bisa mengamati lebih tajam, ia bisa melihat berbagai perubahan
bentuk penampakan Venus, seperti Venus Sabit atau Venus Purnama
sebagai akibat perubahan posisi Venus terhadap Matahari. Teleskop Galileo terus
disempurnakan oleh ilmuwan lain seperti Christian
Huygens (1629-1695) yang menemukan Titan, satelit Saturnus, yang
berada hampir 2 kali jarak orbit Bumi-Yupiter.
Perkembangan
teleskop juga diimbangi pula dengan perkembangan perhitungan gerak benda-benda
langit dan hubungan satu dengan yang lain melalui Johannes
Kepler (1571-1630) dengan Hukum
Kepler. Dan puncaknya, Sir
Isaac Newton (1642-1727) dengan hukum
gravitasi. Dengan dua teori perhitungan inilah yang memungkinkan pencarian
dan perhitungan benda-benda langit selanjutnya.
2.
Observatorium
Observatorium
adalah sebuah lokasi dengan perlengkapan yang diletakkan secara permanen agar
dapat melihat langit dan peristiwa yang berhubungan dengan angkasa. Menurut
sejarah, observatorium bisa sesederhana sextant (untuk mengukur jarak di
antara bintang)
sampai sekompleks Stonehenge (untuk mengukur musim lewat posisi matahari terbit
dan terbenam). Observatorium modern biasanya berisi satu atau lebih teleskop yang
terpasang secara permanen yang berada dalam gedung dengan kubah yang berputar
atau yang dapat dilepaskan. Dalam dua dasawarsa terakhir, banyak observatorium luar
angkasa sudah diluncurkan, memperkenalkan penggunaan baru istilah ini.
Gambar 7. Observatorium Palomar
3.
Planetarium
Planetarium
adalah gedung teater
untuk memperagakan simulasi susunan bintang dan
benda-benda langit. Atap gedung biasanya berbentuk kubah setengah
lingkaran. Di planetarium, penonton bisa belajar mengenai pergerakan
benda-benda langit di malam hari dari berbagai tempat di bumi dan sejarah alam
semesta. Planetarium berbeda dari observatorium.
Kubah planetarium tidak bisa dibuka untuk meneropong bintang.
Gambar 8. Proyektor planetarium Carl Zeiss di Planetarium
Stuttgart
Di
dalam ruang pertunjukan terdapat sumber gambar berupa proyektor planetarium
yang umumnya diletakkan di tengah ruangan. Proyektor dapat memperagakan
pergerakan benda-benda langit sesuai dengan waktu dan lokasi.
Pertunjukan
berlangsung dengan narasi
yang diiringi musik. Kursi memiliki sandaran bisa direbahkan agar penonton bisa
melihat ke layar
di bagian dalam langit-langit kubah. Layar berbentuk setengah bola, dan
biasanya disusun dari panel aluminum. Materi pertunjukan bisa berbeda-beda bergantung
kepada judul pertunjukan dan jadwal.
Planetarium
mulanya adalah alat peraga mekanik untuk
memperlihatkan pergerakan benda-benda langit seperti bintang, planet, Bulan,
dan matahari. Hingga abad ke-19, planetarium berarti alat peraga mekanik yang
disebut orrery.
Proyektor
planetarium yang pertama dibuat pada tahun 1919 berdasarkan ide Walther Bauersfeld dari
Carl Zeiss.
Pada bulan Agustus 1923, proyektor pertama yang diberi nama Model I dipasang di
pabrik Carl Zeiss di Jena.
Bauersfeld untuk pertama kali mengadakan pertunjukan di depan publik dengan
proyektor tersebut di Deutsches Museum, München, 21 Oktober
1923.
Deutsches
Museum menjadi planetarium pertama di dunia setelah proyektor dipasang secara
permanen pada bulan Mei 1925. Di awal Perang
Dunia II, proyektor dibongkar dan disembunyikan. Setelah Deutsches Museum
yang hancur akibat Perang Dunia II dibangun kembali, proyektor Model I
kembali dipasang pada 7
Mei 1951.

Gautama,
Sunkar Eka. 2010. Astronomi Dan Astrofisika. Makassar:______
_______.2012. Obserrvatorium. http://id.wikipedia.org/wiki/Observatorium
. 11 april 2012
_______.2012. Planetarium. http://id.wikipedia.org/wiki/Planetarium.
11 april 2012
_______. Teleskop. http://id.wikipedia.org/wiki/Teleskop.
11 april 2012
JTG - The Gaming Room at The Vip Hotel and Casino
BalasHapusA thrilling experience where the 의정부 출장안마 world has no limit, the Vip Hotel & 안산 출장안마 Casino is your place 오산 출장샵 to stay. Join us today for a quick walk up to The 인천광역 출장마사지 Vip 속초 출장마사지 Casino